EFEK KOMUNIKASI MASSA: KOGNITIF, AFEKTIF & BEHAVIORAL

31 12 2007

Oleh: Muhammad “Yudin” Taqiyuddin

 

Ada tiga dimensi efek komunikasi massa, yaitu: kognitif, afektif, dan konatif. Efek kognitif meliputi peningkatan kesadaran, belajar, dan tambahan pengetahuan. Efek efektif berhubungan dengan emosi, perasaan, dan attitude (sikap). Sedangkan efek konatif berhubungan dengan perilaku dan niat untuyk melakukan sesuatu menurut cara tertentu.[1]

 

1.      Efek Kognitif

Efek kognitif adalah akibat yang timbul pada diri komunikan yang sifatnya informative bagi dirinya. Dalam efek kognitif ini akan dibahas tentang bagaimana media massa dapat membantu khalayak dalam mempelajari informasi yang bermanfaat dan mengembangkan keterampilan kognitif. Melalui media massa, kita memperoleh informasi tentang benda, orang atau tempat yang belum pernah kita kunjungi secara langsung.[2]

Seseorang mendapatkan informasi dari televisi, bahwa “Robot Gedek” mampu melakukan sodomi dengan anak laki-laki di bawah umur. Penonton televisi, yang asalnya tidak tahu menjadi tahu tentang peristiwa tersebut. Di sini pesan yang disampaikan oleh komunikator ditujukan kepada pikiran komunikan. Dengan kata lain, tujuan komunikator hanya berkisar pada upaya untuk memberitahu saja.

Menurut Mc. Luhan[3], media massa adalah perpanjangan alat indera kita (sense extention theory; teori perpanjangan alat indera)[4]. Dengan media massa kita memperoleh informasi tentang benda, orang atau tempat yang belum pernah kita lihat atau belum pernah kita kunjungi secara langsung. Realitas yang ditampilkan oleh media massa adalah relaitas yang sudah diseleksi. Kita cenderung memperoleh informasi tersebut semata-mata berdasarkan pada apa yang dilaporkan media massa. Televisi sering menyajikan adegan kekerasan, penonton televisi cenderung memandang dunia ini lebih keras, lebih tidak aman dan lebih mengerikan.

Karena media massa melaporkan dunia nyata secara selektif, maka sudah tentu media massa akan mempengaruhi pembentukan citra tentang lingkungan sosial yang bias dan timpang. Oleh karena itu, muncullah apa yang disebut stereotip, yaitu gambaran umum tentang individu, kelompok, profesi atau masyarakat yang tidak berubah-ubah, bersifat klise dan seringkali timpang dan tidak benar. Sebagai contoh, dalam film India, wanita sering ditampilkan sebagai makhluk yang cengeng, senang kemewahan dan seringkali cerewet.[5] Penampilan seperti itu, bila dilakukan terus menerus, akan menciptakan stereotipe pada diri khalayak Komunikasi Massa tentang orang, objek atau lembaga. Di sini sudah mulai terasa bahayanya media massa. Pengaruh media massa lebih kuat lagi, karena pada masyarakat modern orang memperoleh banyak informasi tentang dunia dari media massa.

Sementara itu, citra terhadap seseorang, misalnya, akan terbentuk (pula) oleh peran agenda setting (penentuan/pengaturan agenda). Teori ini dimulai dengan suatu asumsi bahwa media massa menyaring berita, artikel, atau tulisan yang akan disiarkannya.[6] Biasanya, surat kabar mengatur berita mana yang lebih diprioritaskan. Ini adalah rencana mereka yang dipengaruhi suasana yang sedang hangat berlangsung. Sebagai contoh, bila satu setengah halaman di Media Indonesia memberitakan pelaksanaan Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar, berarti wartawan dan pihak redaksi harian itu sedang mengatur kita untuk mencitrakan sebuah informasi penting. Sebaliknya bila di halaman selanjutnya di harian yang sama, terdapat berita kunjungan Megawati Soekarno Putri ke beberapa daerah, diletakkan di pojok kiri paling bawah, dan itu pun beritanya hanya terdiri dari tiga paragraf. Berarti, ini adalah agenda setting dari media tersebut bahwa berita ini seakan tidak penting. Mau tidak mau, pencitraan dan sumber informasi kita dipengaruhi agenda setting.

Media massa tidak memberikan efek kognitif semata, namun ia memberikan manfaat yang dikehendaki masyarakat. Inilah efek prososial. Bila televisi menyebabkan kita lebih mengerti bahasa Indonesia yang baik dan benar, televisi telah menimbulkan efek prososial kognitif. Bila majalah menyajikan penderitaan rakyat miskin di pedesaan, dan hati kita tergerak untuk menolong mereka, media massa telah menghasilkan efek prososial afektif. Bila surat kabar membuka dompet bencana alam, menghimbau kita untuk menyumbang, lalu kita mengirimkan wesel pos (atau, sekarang dengan cara transfer via rekening bank) ke surat kabar, maka terjadilah efek prososial behavioral.[7]

 

2.      Efek Afektif

Efek ini kadarnya lebih tinggi daripada Efek Kognitif. Tujuan dari komunikasi massa bukan hanya sekedar memberitahu kepada khalayak agar menjadi tahu tentang sesuatu, tetapi lebih dari itu, setelah mengetahui informasi yang diterimanya, khalayak diharapkan dapat merasakannya[8]. Sebagai contoh, setelah kita mendengar atau membaca informasi artis kawakan Roy Marten dipenjara karena kasus penyalah-gunaan narkoba, maka dalam diri kita akan muncul perasaan jengkel, iba, kasihan, atau bisa jadi, senang. Perasaan sebel, jengkel atau marah daat diartikan sebagai perasaan kesal terhadap perbuatan Roy Marten. Sedangkan perasaan senang adalah perasaan lega dari para pembenci artis dan kehidupan hura-hura yang senang atas tertangkapnya para public figure yang cenderung hidup hura-hura. Adapun rasa iba atau kasihan dapat juga diartikan sebagai keheranan khalayak mengapa dia melakukan perbuatan tersebut.

Berikut ini faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya efek afektif dari komunikasi massa.

  1. Suasana emosional

Dari contoh-contoh di atas dapat disimpulkan bahwa respons kita terhadap sebuah film, iklan, ataupun sebuah informasi, akan dipengaruhi oleh suasana emosional kita. Film sedih akan sangat mengharukan apabila kita menontonnya dalam keadaan sedang mengalami kekecewaan. Adegan-adegan lucu akan menyebabkan kita tertawa terbahak-bahak bila kita menontonnya setelah mendapat keuntungan yang tidak disangka-sangka.

  1. Skema kognitif

Skema kognitif merupakan naskah yang ada dalam pikiran kita yang menjelaskan tentang alur eristiwa. Kita tahu bahwa dalam sebuah film action, yang mempunyai lakon atau aktor/aktris yang sering muncul, pada akahirnya akan menang. Oleh karena itu kita tidak terlalu cemas ketika sang pahlawan jatuh dari jurang. Kita menduga, asti akan tertolong juga.

c.       Situasi terpaan (setting of exposure)

Kita akan sangat ketakutan menonton film Suster Ngesot, misalnya, atau film horror lainnya, bila kita menontontonnya sendirian di rumah tua, ketika hujan labt, dan tiang-tiang rumah berderik. Beberpa penelitian menunjukkan bahwa anak-anak lebih ketakutan menonton televisi dalam keadaan sendirian atau di tempat gelap. Begitu pula reaksi orang lain pada saat menonton akan mempengaruhi emosi kita pada waktu memberikan respons.

  1. Faktor predisposisi individual

Faktor ini menunjukkan sejauh mana orang merasa terlibat dengan tokoh yang ditampilkan dalam media massa. Dengan identifikasi penontotn, pembaca, atau pendengar, menempatkan dirinya dalam posisi tokoh. Ia merasakan apa yang dirasakan toko. Karena itu, ketika tokoh identifikasi (disebut identifikan) itu kalah, ia juga kecewa; ketika ientifikan berhasil, ia gembira.

 

 

3.      Efek Behavioral

Efek behavioral merupakan akibat yang timbul pada diri khalayak dalam bentuk perilaku, tindakan atau kegiatan. Adegan kekerasan dalam televisi atau film akan menyebabkan orang menjadi beringas. Program acara memasak bersama Rudi Khaeruddin, misalnya, akan menyebabkan para ibu rumah tangga mengikuti resep-resep baru. Bahkan, kita pernah mendengar kabar seorang anak sekolah dasar yang mencontoh adegan gulat dari acara SmackDown yang mengakibatkan satu orang tewas akibat adegan gulat tersebut. Namun, dari semua informasi dari berbagai media tersebut tidak mempunyai efek yang sama.

Radio, televisi atau film di berbagai negara telah digunakan sebagai media pendidikan. Sebagian laporan telah menunjukkan manfaat nyata dari siaran radio, televisi dan pemutaran film.[9] Sebagian lagi melaporkan kegagalan. Misalnya, ketika terdapat tayangan kriminal pada program “Buser” di SCTV menayangkan informasi: anak SD yang melakukan bunuh diri karena tidak diberi jajan oleh orang tuanya. Sikap yang diharapkan dari berita kriminal itu ialah, agar orang tua tidak semena-mena terhadap anaknya[10], namun apa yang didapat, keesokan atau lusanya, dilaporkan terdapat berbagai tindakan sama yang dilakukan anak-anak SD. Inilah yang dimaksud perbedaan efek behavior. Tidak semua berita, misalnya, akan mengalami keberhasilan yang merubah khalayak menjadi lebih baik, namun pula bisa mengakibatkan kegagalan yang berakhir pada tindakan lebih buruk.

Mengapa terjadi efek yang berbeda? Belajar dari media massa memang tidak bergantung hanya ada unsur stimuli dalam media massa saja. Kita memerlukan teori psikologi yang menjelaskan peristiwa belajar semacam ini. Teori psikolog yang dapat mnejelaskan efek prososial adalah teori belajar sosial dari Bandura. Menurutnya, kita belajar bukan saja dari pengelaman langsung, tetapi dari peniruan atau peneladanan (modeling). Perilaku merupakan hasil faktor-faktor kognitif dan lingkungan. Artinya, kita mampu memiliki keterampila tertentu, bila terdapat jalinan positif antara stimuli yang kita amati dan karakteristik diri kita.

Bandura menjelaskan proses belajar sosial dalam empat tahapan proses: proses perhatian, proses pengingatan (retention), proses reproduksi motoris, dan proses motivasional.

Permulaan proses belajar ialah munculnya peristiwa yang dapat diamati secara langsung atau tidak langsung oleh seseorang. Peristiwa ini dapat berupa tindakan tertentu (misalnya menolong orang tenggelam) atau gambaran pola pemikiran, yang disebut Bandura sebagai “abstract modeling” (misalnya sikap, nilai, atau persepsi realitas sosial). Kita mengamati peristiwa tersebut dari orang-orang sekita kita.bila peristiwa itu sudah dianati, terjadilah tahap pertama belajar sosial: perhatian. Kita baru pata mempelajari sesuatu bila kita memperhatikannya. Setiap saat kita menyaksikan berbagai peristiwa yang dapat kita teladani, namun tidak semua peristiwa itu kita perhatikan.

Perhatian saja tidak cukup menghasilkan efek prososial. Khalayak harus sanggup menyimpan hasil pengamatannya dalam benak benaknya dan memanggilnya kembali ketika mereka akan bertindak sesuai dengan teladan yang diberikan. Untuk mengingat, peristiwa yang diamati harus direkam dalam bentuk imaginal dan verbal. Yang pertama disebut visual imagination, yaitu gambaran mental tentang peristiwa yang kita amati dan menyimpan gambaran itu pada memori kita. Yang kedua menunjukkan representasi dalam bentuk bahasa. Menurut Bandura, agar peristiwa itu dapat diteladani, kita bukan saja harus merekamnya dalam memori, tetapi juga harus membayangkan secara mental bagaimana kita dapat menjalankan tindakan yang kita teladani. Memvisualisasikan diri kita sedang melakukan sesuatu disebut seabagi “rehearsal”.

Selanjutnya, proses reroduksi artinya menghasilkan kembali perilaku atau tindakan yang kita amati.  Tetapi apakah kita betul-betul melaksanakan perilaku teladan itu bergantung pada motivasi? Motivasi bergantung ada peneguhan. Ada tiga macam peneguhan yang mendorong kita bertindak: peneguhan eksternal, peneguhan gantian (vicarious reinforcement), dan peneguhan diri (self reinforcement). Pelajaran bahasa Indonesia yang baik dan benar telah kita simpan dalam memori kita. Kita bermaksud mempraktekkannya dalam percakapan dengan kawan kita. Kita akan melakukan hanya apabila kita mengetahui orang lain tidak akan mencemoohkan kitam atau bila kita yakin orang lain akan menghargai tindakan kita. Ini yang disebut peneguhan eksternal. Jadi, kampanye bahasa Indoensia dalam TVRI dan surat kabar berhasil, bila ada iklim yang mendorong penggunaan bahasa Indoensia yang baik dan benar.

Kita juga akan terdorong melakukan perilaku teladan baik kita melihat orang lain yang berbuat sama mendapat ganjaran karena perbuatannya. Secara teoritis, agak sukar orang meniru bahasa Indonesia yang benar bila pejabat-pejabat yang memiliki reutasi tinggi justru berbahasa Indonesia yang salah. Kita memerlukan peneguhan gantian. Walaupun kita tidak mendaat ganjaran (pujian, penghargaan, status, dn sebagainya), tetapi melihat orang lain mendapat ganjaran karena perbuatan yang ingin kita teladani membantu terjadinya reproduksi motor.

Akhirnya tindakan teladan akan kita lakukan bila diri kita sendiri mendorong tindakan itu. Dorongan dari diri sendiri itu mungkin timbul dari perasaan puas, senang, atau dipenuhinya citra diri yang ideal. Kita akan mengikuti anjuran berbahasa Indonesia yang benar bila kita yakin bahwa dengan cara itu kita memberikan kontribusi bagi kelestarian bahasa Indonesia.


[1] Amri Jhi, Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-Negara Dunia Ketiga, (Jakarta: PT. Gramedia, 1988)

[2] Siti Karlinah, Komunikasi Massa, (Jakarta: Penerbitan UT, 1999), H. 8.7

[3] Wajar bila Mc Luhan menitik beratkan pada medianya, karena kajian-kajiannya tentang komunikasi terfokus pada media interaktif yang berbasiskan mikroelektronika. Latar belakang pemikirannya ialah ada dampak radikal bentuk-bentuk komunikasi yang berdimensi pada ruang, waktu, dan persepsi manusia. Karya-karyanya secara luas mengartikulasikan sejumlah perubahan paling mendasar yang disebabkan teknologi media, maka wajar bila Mc Luhan berpendapat, isi pesan tidak mempengaruhi pesan, karena kajiannya bertumpu pada media pembawa pesan (lihat Antoni, Riuhnya Persimangan Itu; Profil Pemikiran Para Penggagas Kajian Ilmu Komunikasi, Solo: Tiga Serangkai, 2004)

[4] Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi [Edisi Revisi], (Bandung: Remaja Eosdakarya, 2007), h. 220

[5] Jalaluddin Rakhmat, Op.Cit., h. 226

[6] Ibid., h. 229

[7] Ibid., h. 230

[8] Siti Karlinah, Op.Cit., h. 8.9

[9] Jalaluddin, Op.Cit., h. 240

[10] http://www.liputan6.com, edisi online 11 April 2005


Aksi

Information

26 responses

20 10 2008
Setiyo Purwanto

makasih.. buat modal ngajar di kampus

23 10 2008
dedi darmawan

Trims bgt ya>>>buat garap tugas saya…
saya amat terbantu sekali…
may god bless you..sir..

5 11 2008
Hani

Waah! Makasih banget materinya. soalnya mau bikin tugas media komunikasi pendidikan materinya tuh tentang komunikasi massa. thanks ya!

3 12 2008
maYA maNisss aBissss

ka yuDinnn…

waH drImu keren sekaliii teRnyata buat bLog aBout aFektif, kogniTif,,

waH membaNtu sKripSi eKye niihhhh

taNGkYuuu baNGeddd yaaa,,,

biSA laNGSung cOpY paSte niihhhh

hahahhahahaha…..

goOD lUcK fOr NEw joB ya ka….

gOOd baNGed ka…

terusin baKAt nulis nya yaaa

5 12 2008
mAYA maNIsss lagiii

aYooo ka semaNGad ya untUk seLAlu meNULis yaa ka…

semANgaD lahhh yaa…

saLIng menDoakan untUk sKripSi hahahah…

terUS donk nuLis tentang respon ka,,,

hhahhahah
biar bisa ngutip lagii niih

hahahhaahah…

good luck for everYthing u do///….///,,,,

7 12 2008
kommabogor

Terima kasih atas apresiasi kawan-kawan terhadap tulisan ini. Kebetulan tulisan ini berawal dari sebuah makalah. Insya Allah di lain waktu akan dilanjutkan kembali. Semoga Allah Ta’ala, Tuhan Yang Maha Kasih, memberikan pencerahan kepada kita untuk senantiasa menelurkan pemikiran-pemikiran baru ke arah kebaikan.

5 02 2009
mAyA

mAna LAGIII niiiH ka tuLisan teNTaNg resPons

hahhaha

29 03 2009
Hanny

Thanks yach. modul’a berguna banget cz aQ da tugas ttg eFek komunikasi massa

30 05 2009
tirta darmantio

wah ajib,,,, lebih simpel , padat , dan dapat di mengerti
terimakasi buat teman- teman yg ud berapresiasi, ni emang pembahasan yg menarik,,, tersus semangat sukses selalu,,,,,

3 07 2009
parjoko

haloo semua nama saya parjoko, saya tinggal di pedalaman zimbabwe…aya aya wae aya aya wae.
ahikk ahikkk!!!!!!!

20 08 2009
ety noerhayati

asslamua’laikum,,, thanks buanget ternyata dari masalah tulisan diatas saya dapat mengutip sebagai referensi bwt tulisan.. tetap berkarya n’ boleh tanya kalau membuat.. tulisan-tulisan seperti ini tolong donk ajarkan nd bagaimana membuat situsnya kesebuah internet.. sx lg thanks bgtssss>>.

8 09 2009
dicky

saya sangat berterimakasih atas bahannya…saya kebetulan sedang menyusun skripsi mengenai persepsi pembaca tabloid suara AFTA terhadap pengaruh kognitif, afektif dan psikomotorik…mudah2an saya cepat di acc pebimbing dengan tambahan bahan ini..amin..jika ada saran sangat membantu…kawan2..

8 09 2009
dicky

AFTA(ALUMNI FAKUTAS PERTANIAN UNAND) jadi tabloid pertanian..di sumbar..

26 03 2010
Asnawin

Mohon izin artikelnya saya copy untuk kebaikan dan amal, trims

27 03 2010
daniel

trima kasih atas informasinya

27 03 2010
daniel vandersar

thak’s…AtaS inFOrmaSI yang udeh di berikan, kebetulan sy lg buat tugas skripsi!! jadi doakan saya yah… agar bisa lulus dengan nilai yang baik!!!

2 05 2010
kommabogor

Semoga tulisan ini membantu anda sesuai dengan kapasitas anda masing-masing. Inilah bukti bahwa KOMMA tidak hanya bergerak dalam pemikiran Islam, melainkan ilmu komunikasi pun kami garap.

4 12 2010
jay

makasih atas infonya dan infox sangat membantuku untuk mengerjakan tugas kuliahku…. 🙂

10 12 2010
KOGNITIF, AFEKTIF & BEHAVIORAL « My Day, My World n My Story

[…] Ada tiga dimensi efek komunikasi massa, yaitu: kognitif, afektif, dan konatif. Efek kognitif meliputi peningkatan kesadaran, belajar, dan tambahan pengetahuan. Efek efektif berhubungan dengan emosi, perasaan, dan attitude (sikap). Sedangkan efek konatif berhubungan dengan perilaku dan niat untuyk melakukan sesuatu menurut cara tertentu.[1] […]

20 04 2011
efek dampak komunikasi «

[…] EFEK KOMUNIKASI MASSA: KOGNITIF, AFEKTIF & BEHAVIORAL […]

23 07 2011
ezi hendri

terima kasih artikelnya sangat mengispirasi…
mohon izin di copy …nuhun

14 10 2011
RedZz

“Ada tiga dimensi efek komunikasi massa, yaitu: kognitif, afektif, dan konatif.”
ini teori nya dikemukakan oleh siapa ya? terimakasih

6 02 2012
nyunwahyuni

saya ingin tanya nih, berkaitan dengan minat. apakah minat itu terbatas di aspek afektif saja atau masuk ke aspek behavioral ya? terimakasih sebelumnya 🙂

18 03 2012
arinda putrie

.terimakasih..
kini saya menjadi komunikan yang mendapat efek kognitif dari artikel anda.. 🙂

3 11 2012
ian dartson

terima kasih atas informasi yang bermanfaat ini saya jadi tambah ilmu

18 05 2013

Tinggalkan Balasan ke ety noerhayati Batalkan balasan